Sastra adalah cerminan budaya, nilai, dan pengalaman masyarakat yang melahirkan karya-karya tersebut. Karya sastra Inggris dan sastra Indonesia memiliki karakteristik dan konteks yang unik, namun juga memiliki banyak kesamaan dalam tema dan gaya. Dalam artikel ini, kita akan melakukan studi perbandingan antara kedua tradisi sastra ini, mengeksplorasi tema, gaya, dan konteks budaya yang melatarbelakangi karya-karya dari masing-masing tradisi.
Sastra Inggris telah berkembang selama lebih dari seribu tahun, mulai dari karya-karya awal seperti “Beowulf” hingga novel modern oleh penulis seperti Virginia Woolf dan Salman Rushdie. Sastra ini banyak dipengaruhi oleh sejarah Inggris, termasuk kolonialisme, perubahan sosial, dan pergeseran nilai-nilai. Sastra Inggris sering kali mencerminkan dinamika kelas sosial, perjuangan individu, dan tantangan moral.
Sastra Indonesia, di sisi lain, memiliki akar yang dalam dalam tradisi lisan dan tulisan yang kaya. Karya sastra Indonesia dapat ditelusuri dari naskah kuno seperti “Hikayat” dan “Serat” hingga novel modern oleh penulis seperti Pramoedya Ananta Toer dan Ayu Utami. Sastra Indonesia dipengaruhi oleh sejarah panjang, termasuk penjajahan, perjuangan kemerdekaan, dan perubahan sosial.
Baik sastra Inggris maupun Indonesia sering mengeksplorasi tema cinta dan hubungan antarmanusia. Dalam novel “Pride and Prejudice” karya Jane Austen, cinta diwakili melalui perjuangan antara kelas sosial dan norma-norma masyarakat. Di sisi lain, dalam “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata, cinta diekspresikan dalam konteks persahabatan dan keinginan untuk pendidikan yang lebih baik.
Tema pencarian identitas juga muncul dalam kedua tradisi. Dalam “The Catcher in the Rye” karya J.D. Salinger, karakter utama, Holden Caulfield, berjuang dengan rasa kehilangan dan pencarian jati diri di tengah masyarakat yang kompleks. Sementara itu, dalam “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer, pencarian identitas budaya dan nasionalisme menjadi fokus utama dalam konteks penjajahan.
Ketidakadilan sosial adalah tema lain yang sering dijumpai dalam karya sastra. Novel “Oliver Twist” karya Charles Dickens menyoroti kesengsaraan anak-anak yatim di London, menggambarkan realitas keras dari kelas pekerja. Dalam sastra Indonesia, “Tetralogi Pulau Buru” karya Pramoedya Ananta Toer menyajikan gambaran mendalam tentang ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat di bawah kekuasaan kolonial.
Dalam sastra Inggris, teknik narasi seringkali lebih beragam. Misalnya, penulis seperti Virginia Woolf menggunakan aliran kesadaran untuk menggambarkan pikiran dan perasaan karakter secara mendalam. Sebaliknya, dalam sastra Indonesia, gaya penulisan cenderung lebih deskriptif dan terfokus pada narasi yang mengalir, seperti terlihat dalam karya-karya Sapardi Djoko Damono yang kaya akan imaji dan simbol.
Bahasa dalam sastra Inggris cenderung lebih terpengaruh oleh penggunaan idiom dan metafora yang kompleks, menciptakan kedalaman makna. Dalam puisi T.S. Eliot, penggunaan simbolisme menciptakan banyak lapisan interpretasi. Di sisi lain, dalam sastra Indonesia, penggunaan bahasa sering kali lebih sederhana tetapi kaya akan makna budaya. Dalam puisi-puisi Sapardi, misalnya, simbol-simbol sehari-hari membawa pembaca pada pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan.
Ketika membandingkan “Pride and Prejudice” dengan “Laskar Pelangi”, kita melihat perbedaan dalam penggambaran cinta dan norma sosial. Austen menyoroti kelas sosial dan status dalam hubungan, sementara Andrea Hirata lebih fokus pada nilai-nilai persahabatan dan semangat kolektif dalam perjuangan untuk pendidikan.
Dari segi pencarian identitas, “Bumi Manusia” dan “The Catcher in the Rye” memiliki pendekatan yang berbeda. “Bumi Manusia” menggali identitas nasional dan budaya dalam konteks kolonial, sedangkan “The Catcher in the Rye” lebih mementingkan perjuangan individu dalam memahami diri sendiri di tengah kekacauan masyarakat.
Kedua karya ini mengangkat isu ketidakadilan sosial, tetapi dalam konteks yang berbeda. “Oliver Twist” menggambarkan kehidupan anak-anak miskin di London, sedangkan “Tetralogi Pulau Buru” memberikan perspektif lebih luas tentang penderitaan masyarakat Indonesia di bawah kolonialisme.
Dalam era globalisasi, pertukaran budaya menjadi semakin cepat dan mudah. Karya sastra Inggris dan Indonesia kini dapat diakses secara lebih luas, memungkinkan pembaca untuk menemukan kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Banyak penulis Indonesia terinspirasi oleh sastra Barat dan sebaliknya, menciptakan karya-karya yang kaya akan interaksi budaya.
Studi perbandingan antara karya sastra Inggris dan sastra Indonesia memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana budaya, nilai, dan pengalaman masyarakat berpengaruh terhadap karya sastra. Meskipun terdapat perbedaan dalam tema, gaya, dan konteks, terdapat banyak kesamaan yang mencerminkan kondisi manusia universal. Melalui pembandingan ini, kita dapat lebih menghargai kekayaan sastra dari kedua tradisi dan memahami bagaimana sastra berfungsi sebagai medium untuk menyampaikan pesan, pengalaman, dan perjuangan manusia.
Sumber :
“Comparative Literature: A Critical Introduction” oleh Susan Bassnett
“Indonesian Literature in English Language Education: A Comparative Perspective”